13.0102.0070
Ekonomi / Akuntansi
Universitas Muhammadiyah Magelang
PAJAK BUMI dan BANGUNAN
A.
DASAR
HUKUM
Pasal
2 UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.12 Tahun
1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan menyatakan bahwa yang menjadi objek Pajak
Bumi dan Bangunan adalah bumi dan/atau bangunan (Objek Pajak)
B.
OBJEK PAJAK
Hal yang dimaksud bumi dan bangunan adalah :
1. Bumi
: Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa
tambak perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.
2. Bangunan
: Konstruksi teknik yang ditanah atau diletakkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan untuk tempat tinggal,tempat usaha. Diantaranya adalah :
·
Jalan lingkungan dalam
satu kesatuan dengan komplek bangunan seperti hotel dan pabrik.
·
Jalan tol
·
Kolam renang
·
Tempat olahraga
·
Galangan kapal,dermaga
·
Taman mewah
·
Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
·
Fasilitas lain yang memberikan manfaat
C.
DIKECUALIKAN
DARI OBJEK PAJAK
1. Digunakan
semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak mencari keuntungan:
a. Di bidang keagamaan, seperti masjid, wihara,
gereja, dll
b. Di
bidang sosial, seperti panti asuhan.
c. Di
bidang kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas.
d. Di
bidang pendidikan, seperti madrasah, pesantren, sekolah.
e. Di
bidang kebudayaan nasional, seperti museum, candi.
2. Digunakan
untuk makam, peninggalan purbakala atau yang sejenis
3. Merupakan
hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang
belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan
untuk perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik.
5. Digunakan
oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan, seperti PBB.
D.
SUBJEK PBB
( Pasal 4 UU No. 12
Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 )
Yang
menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
a.
mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b.
memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c.
memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
d.
memperoleh manfaat atas bangunan.
Subjek
Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut
UU PBB.
Apabila
suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung
pajaknya maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah
Direktorat Jenderal Pajak.
Penetapan
ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti :
·
Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang
mengatur ?
·
Siapa yang menanggung kewajiban pajaknya ?
·
Dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang
tanah dan bangunan tersebut?
E.
MENGHITUNG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
Rumus
penghitungan diatas dapat dibuat dengan urut-urutan penghitungan sebagai
berikut :
Tarif
Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek PBB adalah 0,5%.
Nilai
Jual Kena Pajak
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan jumlah tertentu
yang digunakan sebagai dasar penghitungan PBB. NJKP dihitungdari suatu
presentase tertentu (assessment value)
dari nilai jual sebenarnya. Nilai jual sebenarnya merupakan Nilai Jual Objek
Pajak setelah dikurangi dengan Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak.
AV
(Assessment Value)
AV (Assessment Value) disebut juga presentase.
Besarnya AV ( NIlai Jual Kena Pajak) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan PP No.25 Tahun
2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan PBB,
mengatur besarnya NJKP sebagai berikut :
1.
Besarnya
(persentase NJKP atau AV adalah 40% dari NJOP,untuk:
a. Objek pajak perkebunan
b. Objek pajak kehutanan
c. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya sama atau lebih
besar dari Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
2.
Besarnya (persentase NJKP atau AV adalah 20%
dari NJOP,untuk:
a. Objek pajak pertambangan
b. Objek pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) merupakan dasar pengenaan PBB. Besarnya NJOP ditetapkan dengan
pengklasifikasian atau penggolongan nilai jual rata-rata bumi berupa tanah
dan/atau bangunan. Penentuan besarnya NJOP mengacu pada Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 Lampiran IA, IB, IIA, IIB.
·
Lampiran IA dan
IB merupakan penggolongan nilai jual permukaan bumi (terdapat dalam Lampiran IA
Kelompok A dan Kelompok B).
·
Lampiran IIA dan
IIB merupakan penggolongan nilai jual bangunan (terdapat dalam Lampiran IB
kelompok A dan Kelompok B)
Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam menentukan penggolongan bumi/tanah diantaranya
adalah letak, peruntukan, pemanfaatan, kondisi lingkungan, dan lain-lain.
Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam menentukan penggolongan bangunan diantaranya
adalah bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan, dan
lain-lain.
Contoh :
Tuan A mempunyai
sebidang tanah seluas 200m² dengan harga Rp 300.000 per m² dan bangunan seluas
100 m² dengan nilai bangunan Rp 1.000.000 per m². NJOP untuk tanah ditentukan dengan
cara sebagai berikut:
a. Lihat lampiran IA kelompok A kolom 2 “Penggolongan
Nilai Jual Permukaan Bumi/Tanah per M².”
b. Harga tanah Rp 300.000 per m² ada pada penggolongaan
nilai jual antara Rp 262.000 s.d Rp308.000 atau berada pada kelas 24.
c. Nilai jual per
m² tanah untuk kelas 24 adalah Rp 285.000 per m².
d. Jadi, NJOP untuk tanah milik Tuan A adalah Rp 285.000
× 200m² atau Rp 57.000.000
NJOP untuk
bangunan ditentukan dengan cara sebagai berikut :
a. Lihat lampiran IB kelompok A kolom 2 “Penggolongan
Nilai Jual Bangunan per M².”
b. Harga bangunan Rp 1.000.000 per m² ada pada
penggolongaan nilai jual antara Rp 902.000 s.d Rp1.034.000 atau berada pada
kelas 24.
c. Nilai jual per
m² bangunan untuk kelas 2 adalah Rp 968.000 per m².
d. Jadi, NJOP untuk bangunan milik Tuan A adalah Rp
968.000 × 100m² atau
Rp 96.800.000
NJOP untuk Wajib
Pajak Tuan A sebagai berikut:
Objek
Pajak
|
Harga Riil
Rp/m²
|
Penggolongan(Tabel) Rp/m²
|
Kelas
|
Nilai (tabel)
Rp/m²
|
Luas
|
NJOP
Rp/m²
|
Tanah
|
300.000
|
262.000-308.000
|
A 24
|
285.000
|
200
|
57.000.000
|
Bangunan
|
1.000.000
|
902.000-1.034.000
|
A 2
|
968.000
|
100
|
96.000.000
|
Nilai Jual Objek Pajak
|
153.000.000
|
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Nilai jual objek
pajak diberikan pengurangan yang sering disebut sebagai NJOPTKP untuk setiap
wajib pajak adalah maksimum sebesar Rp 12.000.000,- . Apabila
seorang Wajib Pajak mempunyai 2 (dua) Objek Pajak atau lebih, yang diberikan
NJOPTKP hanya obyek yang terbesar.
Contoh:
Wajib Pajak
Hakim mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi (tanah) dan bangunan masing-masing
di desa Gondokusuman dan Ngampilan, Yogyakarta. Nilai Jual Objek Pajak bumi dan
bangunan di desa Gondokusuman masing-masing sebesar Rp 80.000.000,- dan Rp
50.000.000,-. Sedangkan, nilai jual objek pajak bumi dan bangunan di desa
Ngampilan masing-masing Rp 50.000.000,- dan Rp 40.000.000,-. NJOPTKP daerah
tersebut ditetapkan sebesar Rp 8.000.000. NJOP untuk penghitungan PBB adalah sebagai
berikut:
a. Desa Gondokusuman
Nilai Jual Objek Pajak untuk PBB
-
|
-
Nilai Jual Objek
Pajak Bangunan Rp 50.000.000 +
NJOPTK Rp 8.000.000
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan PBB Rp 122.000.000
b.
Desa
Ngampilan
NJOP untuk penghitungan PBB
- NJOP Bumi Rp
50.000.000
|
|
NJOPTKP -
NJOP untuk penghitungan PBB Rp 90.000.000
Objek Pajak di
desa Ngampilan tidak memperhitungkan NJOPTKP sebesar Rp. 8.000.000 karena
NJOPTKP telah diperhitungkan untuk Objek Pajak di desa Gondokusuman
Contoh menghitung PBB
Wajib Pajak CV
Perdana mempunyai objek pajak berupa:
·
Tanah seluas
800m² dengan NJOP Rp 335.000 m²
·
Bangunan (rumah)
seluas 400 m² dengan NJOP Rp 505.000 per m²
·
Taman mewah
seluas 200 m² dengan NJOP Rp 98.000 per m²
·
Pagar mewah
sepanjang 100m² dan tinggi rata-rata 150cm dengan NJOP 1.200.000 per m²
Ditetapkan : Persentase
NJOP(AV) sebesar 20% dan NJOPTKP sebesar Rp 10.000.000
Besarnya PBB
yang terutang dihitung sebagai berikut:
·
NJOP tanah
(800m² × Rp 335.000) Rp
268.000.000
·
NJOP bangunan
-
Rumah
(400m²×Rp505.000) Rp
202.000.000
-
Taman mewah
(200m²×Rp 98.000) Rp 19.600.000
-
Pagar
mewah (100m²×1,5m²×Rp 1.200.000) Rp
180.000.000
Rp
401.600.000
·
NJOP
sebagai dasar penghitungan PBB Rp
669.600.000
·
NJOPTKP(
telah ditetapkan ) (Rp 10.000.000)
·
NJOP sebagai
dasar penghitungan PBB Rp
659.600.000
Nilai Jual Kena Pajak (20% × Rp 659.600.000) Rp
131.920.000
Pajak Bumi dan Bangunan 0,5%× Rp 131.920.000=Rp
659.600
Jadi NJKP =
Rp. 131.920.000
PBB = Rp. 659.000
TAHUN, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK
TERHUTANG
1.
Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim.
2.
Saat yang
menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan obyek pajak pada tanggal
1 Januari.
3.
Tempat pajak
yang terhutang:
a.
untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
b.
untuk daerah
lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat
I!; yang meliputi letak obyek pajak.
Contoh :
1. Wajip
Pajak A pada tanggal 1 januari 2006 mempunyai objek pajak berupa tanah dan
bangunan dengan NJOP sebesar Rp. 100.000.000.Pada tanggal 10 Maret 2006
bangunan terbakar yang senilai Rp. 30.000.000 .PBB yang terutang tetap pada
keadaan objek pajak tanggal 1 Januari 2006 yaitu Rp.100.000.000.
2. Wajib
pajak B pada tanggal 1 Januari 2007 mempunyai objek pajak berupa tanah tanpa
ada bangunan. NJOP tanan sebesar Rp. 150.000.000. Tanggal 10 Agustus 2007
dilakukan pendirian bangunan senilai Rp. 50.000.000.Maka PBB terutang nya
adalah :
a. Tahun
2007 = Rp.150.000.000 (bangunan
dihitung tahun depan)
b. Tahun
2008 = Rp.150.000.000 + Rp. 50.000.000
= Rp. 200.000.000
PENDAFTARAN, PENETAPAN DAN PENAGIHAN
1.
Pendataan . Dalam hal ini subjek pajak wajib
mendaftarkan objek pajak dengan mengisi Surat Pembeitahuan Objek Pajak
(SPOP).SPOP diisi oleh Wajip Pajak dan dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak.Wajib Pajak yang pernah
dikenakan IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) tidak wajib mendaftarkan objek
pajaknya, kecuali jika wajib pajak menerima SPOP , maka wajib mengisi dan
mengembalikan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
2.
SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, tepat
waktu lalu ditandatangani dan disampaikan oleh Dirjen Pajak selambat-lambatnya
30 hari setelah tanggal terima SPOP oleh subjek pajak.
3.
Berdasarkan SPOP , Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
4.
Direktur Jenderal Pajak dpa mengeluarkan Surat
Ketetapan Pajak (SKP) secarajabatan.
5.
Sanksi yang dikenakan terhadap Wajip Pajak yang tidak
menyampaikan SPOP pada waktunya walau telah diberi teguran adalah berupa denda
administrasi sebesar 25% dari jumlah pokok.
Contoh:
Wajib Pajak
Mega tidak menyampaikan SPOP. Berdasarkan data yang sudah ada , Dirjen Pajak
mengeluarkan SKP yang menyatakan bahwa terdapat kurang bayar sebesar Rp.
5.000.000 . Jumlah PBB yang harus dibayar yang telah tertera pada SKP adalah:
·
Pokok Pajak Rp.
5.000.000
·
Sanksi administrasi ( 25% x
Rp.5.000.000) Rp.
1.250.000
Jumlah PBB yang terutang dalam SKP Rp. 6.250.000
6.
Sanksi administrasi yang dikenakan terhadap Wajib Pajak
yang mengisi SPOP tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya adalah berupa
denda administrasi 25% dari selisih pajak terutang berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terutang dalam SPPT yang dihitung
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh
wajib Pajak.
Contoh:
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp. 1.500.000
Berdasarkan pemeriksaanpajak terutang
dalam SKP (Rp. 2.000.000)
Kekurangan
Rp. 500.000
Denda administrasi (25% x Rp. 500.000) Rp. 125.000
Jumlah PBB yang terutang dalam SKP Rp. 625.000
TATA
CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN
1.
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib
Pajak.
Contoh:
Wajib pajak Kwafi menerima SPPT pada
tanggal 1 Maret 2007, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31
Agustus 2007.
2.
Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi
selambat-lambatnya 1 (Satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib
pajak.
Contoh:
Wajib Pajak Diah menerima SKP pada
tanggal 1 Maret 2007 maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 31 Maret
2007.
3.
Pajak terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak
dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% per bulan
dari jumlah yang tidak atau kurang bayar, yang dihitung dari saat jatuh tempo
sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dari
bulan dihitung penuh 1 bulan.
Contoh:
SPPT tahun pajak 2007 diterima oleh
Wajib pajak tanggal 1 Maret 2007 dengan pajak terutang Rp. 200.000. . Oleh
Wajib Pajak baru dibayarkan pada tanggal 1 September 2007. Terhadap Wajib Pajak
tersebut dikenakan denda administrasi sebesar 2%.
Pajak terutang yang harus dibayar
tanggal 1 September adalah:
·
Pokok Pajak Rp.
200.000
·
Denda administrasi 2% x Rp. 200.000.000 Rp. 4.000
PBB yang harus dibayar Rp.
204.000
Bila wajib pajaktersebut baru membayar
utang pajaknya pada tanggal 10 Oktober 2007, terhadap Wajib Pajak tersebut
dikenakan denda 2 x 2% dari pokok pajak.
Pajak yang terutang yang harus dibayar
pada tanggal 10 Oktober 2007 :
·
Pokok Pajak Rp.
200.000
·
Denda administrasi 2 x 2% x Rp. 200.000 Rp.
8.000
PBB yang harus dibayar Rp.
208.000
4.
Denda administrasi ditambah utang pajak yang belum atau
kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) dan harus dilunasi
selambat-lambatnya 1 bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh wajib pajak.
5.
Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak
dibayar pada waktunya ditagih dengan Surat Paksa.
6.
Menteri Keuangan dapat melimpahkan kewenangan penagihan
pajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati dan/atau Walikota
Kepala Daerah Tingkat II .
PP baik tercantum dalam SPPT , SKP
maupunSTP dibayarkan di :
·
Bank Pemerintah (Bank Persepsi)
·
Kantor Pos dan Giro
·
Petugas pemungut yang ditunjuk (collector)
secara resmi.Lalu collector menyetorkan ke Bank Persepsi, kantor pos atau giro.
KEBERATAN
DAN BANDING
1. Keberatan
a.
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen
Pajakkarena menerima SPPT maupun SKP
b.
Keberatan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing –masing
dalam 1 Surat Kepberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.
Keberatan
SPPT dan SKP dapat diajukan dalam hal:
a.
Wajib pajak menganggap penetapan PBB oleh KPP tidak
benar. Misal Pengenaan NJOP bimu dan bangunan
yang tercantum tidak sesuai dengan harga pasar).
b.
Terdapat perbedaan penafsiran undang- undang dan
peraturan perundang-undangan antara Wajib Pajak dengan Fiskus.
c.
Kesalahan penetapan subjek pajak sebagai wajib pajak
oleh Direktoran Jenderal Pajak.
2. Banding
a.
Jika Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan
, maka dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jeneral Pajak.
b.
Banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
selambat-lambatnya 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima dengan dilampiri
salinan surat keputusan keberatan.
c.
Pengajuan Permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
PENGURANGAN
Alasan
|
Besarnya Pengurangan
|
1.
Kondsi tertentu objek pajak yang ada hubungannya
dengan subjek pajak dan / sebab tertentu lainnya, yaitu :
a.
Objek pajak berupa lahan pertanian / perkebunan/
perikanan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan/atau
dimanfaatka oleh wajib pajak orang pribadi.
b.
Objek Pajak yang dikuasai , dimiliki atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang perpenghasilan rendah yang
nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan
lingkungan.
c.
Objek pajak yang dikuasai , dimiliki atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata
berasal dari pensiunan sehingga kewajiban PBB nya sulit dipenuhi.
d.
Objek pajak yang dikuasai , dimiliki atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah
sehingga kewajiban PBB nya sulit dipenuhi.
e.
Objek pajak yang dikuasai , dimiliki atau
dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran pejuang dan pembela kemerdekaan
termasuk janda atau dudanya.
f.
Objek pajak yang dikuasai , dimiliki atau
dimanfaatkan oleh oleh wajib pajak badan yang mengalami kerugian dan
kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat
memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
|
0% s.d 75%
|
2.
Wajib pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek
pajaknya terkena bencana alam (gempa bumi, banjir, tanah longsor ) dan sebab
lain yang luar biasa (kebakaran, kekeringan, wabah penyakit tanaman,dan hama
tanaman)
|
Maksimal 100%
|
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB
Pembagian hasil penerimaan PBB
diatur dengan peraturan pemerintah sebagai berikut:
1.
Sebesar 10% dari total penerimaan PBB merupakan bagian
Pemerintahan Pusat dan harus disetor sepenuhnya ke kas Negara.
2.
Sbesar 90% dari total penerimaan PBB dialokasikan
sebagai berikut :
a. 10%
x 90% atau 9%
dari total penerimaan PBB untuk
biaya pemungutan.
b. 90%
x 90% atau 81% dari total penerimaan PBB untuk
Pemerintah Daerah,
terbagi menjadi :
·
20% x 81% atau 16,2% dari total penerimaan PBB
untuk Daerah Tingkat I
·
80% x 81% atau 64,8% dari total penerimaan PBB
untuk Daerah Tingkat II.
SANKSI ADMINISTRASI DAN SANKSI PIDANA
Pihak – pihak yang
melakukan pelanggara akan dikenakan sanksi administrasi maupun sanksi pidana.
1.
Sanksi Bagi
Pejabat
Bagi pejabat yang tidak memenuhi
kewajibannya
2.
Sanksi Bagi
Wajib Pajak
PENGENAAN PBB DALAM HAL-HAL TERTENTU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar